MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MENGINTEGRASIKAN
IMAN, ISLAM, DAN IHSAN DALAM MEMBENTUK INSAN KAMIL
وَبَرَكَاتُهُ اللهِ وَرَحْمَةُ عَلَيْكُمْ اَلسَّلاَمُ
MENGINTEGRASIKAN
IMAN, ISLAM, DAN IHSAN DALAM MEMBENTUK INSAN KAMIL
Sebelum masuk
kedalam pembahasan kita akan tafsir dulu apa yang dimaksud dengan Iman, Islam,
dan Ihsan menerut para Ulama’
Pembicaraan
tentang masalah iman merupakan salah satu perkara penting yang mendasar. Bahkan
ini merupakan dasar aqidah seorang muslim. Salah dalam memahami keimanan bisa
menyebabkan seseorang terjerumus dalam keharaman, kebid’ahan, bahkan bisa
berujung kekafiran. Semoga sekelumit pembahasan masalah iman ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
[Definisi Iman]
Para
ulama mendefinisikan iman yaitu ucapan dengan lisan, keyakinan hati, serta
pengamalan dengan anggota badan, bisa bertambah dengan ketaatan dan
berkurang dengan kemaksiatan. Inilah makna iman menurut Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Mayoritas Ahlus Sunnah mengartikan iman mencakup i’tiqad
(keyakinan), perkataan, dan perbuatan.
Imam Muhammad bin Isma’il bin Muhammad bin al Fadhl at
Taimi al Asbahani mengatakan : “ Iman menurut pandangan syariat adalah
pembenaran hati, dan amalan anggota badan”.
Imam Al Baghawi mengatakan : ” Para sahabat,
tabi’in, dan ulama ahlis sunnah sesudah mereka bahwa amal termasuk keimanan…
mereka mengatakan bahwa iman adalah perkataan, amalan, dan aqidah”
Al Imam Asy Syafi’i berkata dalam kitab Al Umm
: “ Telah terjadi ijma’ (konsesus) di kalangan para sahabat, para
tabi’in, dan pengikut sesudah mereka dari yang kami dapatkan bahwasanya iman
adalah perkataan, amal, dan niat. Tidaklah cukup salah satu saja tanpa mencakup
ketiga unsur yang lainnya”
Al Imam Al Laalikaa-i meriwayatkan dari Imam Bukhari :
“ Aku telah bertemu lebih dari seribu ulama dari berbagai negeri. Tidak aku
dapatkan satupun di antara mereka berselisih bahwasanya iman adalah ucapan dan
perbuatan,bisa bertambah dan berkurang “
Kesimpulannya menurut definisi syariat tentang
iman bahwasanya iman mencakup perkataan dan perbuatan. Perkataan mencakup dua
hal : perkataan hati, yaitu i’tiqad (keyakinan) dan perkataan lisan.
Perbuatan juga mencakup dua hal yati perbuatan hati, yaitu niat dan ikhlas,
serta perbuatan anggota badan. Sehingga tidak ada perbedaan makna dari ucapan
para ulama di atas, yang ada hanya sebatas perbedaan istilah saja.[1]
[Iman Mencakup Keyakinan, Perkataan, dan
Perbuatan]
Berikut
dalil-dalil yang menjelaskan bahwa iman mencakup keyakinan hati, perkataan, dan
perbuatan.
Dalil tentang keyakinan hati :
Allah Ta’ala berfirman :
وَلَمَّا يَدْخُلِ اْلإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ
“karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”
(Al Hujurat:14)
الْإِيمَانَ قُلُوبِهِمُ فِي كَتَبَ
“Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka” (Al Mujaadilah:22)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيمَانُ قَلْبَهُ
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya
namun keimanannya belum masuk ke dalam hatinya”[2]
Dalil tentang perkataan lisan :
Firman Allah Ta’ala :
قُولُوا ءَامَنَّا بِاللهِ وَمَآأُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَآأُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَاْلأَسْبَاطِ وَمَآأُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَآأُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وِنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ {136}
“Katakanlah (hai orang-orang mu’min): “Kami beriman
kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan
kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya.
Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk
patuh kepada-Nya” (Al Baqarah:136)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَمَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَقَدْ عَصَمَ مِنِّى مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلاَّ بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga
mereka mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah’,
maka barangsiapa yang mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Allah’, maka sungguh dia telah menjaga harta dan jiwanya dari
(seranganku) kecuali dengan hak Islam, dan hisabnya diserahkan kepada Allah”[3]
Dalil tentang amalan anggota badan :
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ … {143}
“dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu
(shalatmu)” (Al Baqarah:143)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِينَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia
berzina”[4]
Dan
masih banyak dalil-dalil lain dari al Quran dan hadist yang menunjukkan bahwa
iman mencakup keyakinan, perkataan, dan perbuatan[5]
[Iman Bisa Bertambah dan juga Berkurang]
Di
antara keyakinan yang benar tentang iman adalah bahwasanya iman dapat bertambah
dan juga dapat berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
kemaksiatan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :
فَزَادَهُمْ إِيمَانًا
“maka perkataan itu menambah keimanan mereka”
(Ali Imran :173)
لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ {4}
“supaya keimanan mereka bertambah di samping
keimanan mereka (yang telah ada)” (Al Fath:4)
Nabi Shalallahu ‘alihi wa sallam bersabda :
يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَكَانَ فِى قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ ذَرَّةً
“akan keluar dari neraka, orang yang mengucapkan,
‘Laa Ilaaha Illaahu (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah) ‘, dan
di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat biji sawi”[6]
Dalam
hadist di atas nabi menjelaskan bahwa iman bertingkat-tingkat. Jika sesuatu
bisa mengalami penambahan, maka bisa juga berkurang, karena konsekuensi dari
penambahan adalah sesuatu yang diberi tambahan itu lebih kurang daripada yang
bartambah.[7]
Iman dapat bertambah disebabkan karena bebrapa hal :
1.
Mengenal Allah Ta’ala melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Semakin
seseorang mengenal Allah, keimanannya semkain bertambah.
2.
Memperhatikan ayat-ayat Allah baik ayat-ayat kauniyah maupun ayat syar’iyah.
3.
Banyak melakukan ketaaatan.
4.
Meninggalkan kemakisatan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
Adapun
ha-hal yang dapat mengurangi keimanan di antaranya :
1.
Berpaling dari mengenal Allah dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya
2.
Tidak mau memperhatikan ayat-ayat kauniyah dan syar’iyah
3.
Sedikitnya amal shalih
4.
Melakukan kemaksiatan kepada Allah[8]
[Iman Memiliki Banyak Cabang]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu ada tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh
sembilan, atau enam puluh tiga sampai enam puluh sembilan cabang. Yang paling
utama adalah perkataan, Laa illaaha illallah (Tidak ada tuhan yang berhak
disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan
dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari iman.”[9]
Hadist
ini diantara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan hati dan
amalan hati, perkataan lisan, dan juga perbuatan anggota badan .Selain itu,
hadist ini juga menunjukkan bahwa iman itu memiliki cabang-cabang.
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “ Pokok
keimanan memiliki cabang yang banyak. Setiap cabang adalah bagian dari iman.
Shalat adalah cabang keimanan, begitu pula zakat, haji, puasa, dan
amalan-amalan hati seperti malu, tawakal… Di antara cabang-cabang tersebut
adacabang yang jika hilang maka akan membatalkan keimanan seperti cabang
syahadat. Ada pula cabang yang jika hilang tidak membatalkan keimanan seperti
menyingkirkan gangguan dari jalan. Di antara dua cabang tersebut terdapat
cabang-cabang keimanan lain yang bertingkat-tingkat. Ada cabang yang
mengikuti dan lebih dekat ke cabanag syahadat. Ada pula yang mengikuti dan
lebih dekat ke cabang menyingkirkan gangguan dari jalan. Demikian pula
kekafiran, memiliki pokok dan cabng-cabang. Sebagaimana cabang iman adalah termasuk
keimanan, maka cabang kekafiran juga termasuk kekafiran. Malu adalah cabang
iman, maka berkurangnya rasa malu merupakan cabang dari kekafiran. Jujur adalah
cabang iman, sedangkan dusta adalah cabang kekafiran. Maksiat seluruhnya adalah
cabang kekafiran, sebgaiaman semua ketaatan adalah cabang keimanan”[10]
[Keimanan Betingkat-Tingkat]
Syaikh Ibnu Baaz ketika mengomentari perkataan Imam at
Thahawi “ Iman adalah satu kesatuan dan pemiliknya memiliki keimanan yang
sama” mengatakan : “Perkataan Imam at Thahawi ini perlu ditinjau lagi,
bahkan ini merupakan perkataan yang batil. Orang yang beriman tidaklah
sama dalam keimanannya. Justru sebaliknya, mereka memiliki keimanan yang
bertingkat-tingkat dengan perbedaan yang mencolok. Iman para rasul tidaklah
dapat disamakan dengan iman selain mereka. Demikian pula iman para al
khulafaur rasyidin beserta para sahabat yang lain, tidaklah sama dengan
yang lainnya. Iman orang-orang yang betul-betul beriman juga tidak sama dengan
iman orang yang fasik. Hal ini didasari pada perbedaan yang ada dalam hati,
berupa pengenalan terhadap Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan segala
yang disyariatkan bagi hamba-Nya. Inilah pendapat Ahlus sunnah wal jama’ah,
berbeda dengan pendapat murjiah dan yang sepaham dengan mereka.Wallahul
musta’an “[11]
Permasalahan ini sangat jelas jika kita melihat
dalil-dalil yang ada dalam al Quran dan as Sunnah serta realita yang terjadi
bahwa keimanan itu bertingkat-tingkat.
Allah melebihkan sebagian rasul dibandingkan rasul
yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman :
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِّنْهُم مَّن كَلَّمَ اللهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ … {253}
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari)
mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung
dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. …” (Al
Baqarah:253)
Pemberian
keutamaan sebgaian rasul dibandingkan yang lain disebabkan perbedaan tingkat
keimanan mereka. Demikian pula di antara para rasul ada yang termasuk ulul
‘azmi. Mereka adalah rasul-rasul yang memiliki kedudukan yang paling agung
dan derajat yang paling tinggi. Para rasul tidak sama semua kedudukannaya di
sisi Allah.
Allah Ta’ala berfirman :
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُوْلُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ … {35}
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang
mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul …” (Al Ahqaf:35)
Demikian
pula keimanan para sahabat. Keimanan mereka berbeda-beda. Keimanan yang paling
tingggi adalah keimanan yang dimiliki oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.
Rasulullah sahalallhu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Seandainya
keimaanan seluruh umat ditimbang dengan keimanan Abu bakar, maka keimanan Abu
Bakar lebih berat”. Abu Bakar Su’bah al Qaari berkata : “Tidaklah Abu
Bakar mendhaului kalian dengan banyaknya sholat dan shodaqoh, namun dengan iman
yang menancap di hatinya”[12]
[Pelaku Dosa Besar Tetaplah Seorang Mukmin]
Termasuk
pembahasan penting dalam masalah iman adalah dalam menghukumi pelaku dosa
besar. Pada dasarnya, seorang mukmin yang melakukan kemaksiatan yang tidak
sampai derajat kekafiran tetap dihukumi sebagai seorang mukmin. Inilah madzab ahlus
sunnah wal jama’ah. Di antara dalilnya yaitu ayat qishos dalam
firman Allah :
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءُُ فَاتِّبَاعُ بِالْمَعْرُوفِ
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik”
(Al Baqarah:178). Mereka (pelaku maksiat) tetap dianggap saudara seiman dengan
kemksiatan yang mereka lakukan. Allah juga berfirman :
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِىءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ {9} إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ … {10}
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang
satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia
telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu
berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu” (Al Hujurat:9-10). Dalam
ayat ini Allah menyifati dua kelompok yang berperang dengan predikat mukmin walaupun
mereka saling berperang. Allah juga memberitakan bahwa mereka adalah saudara,
dan persaudaraan tidaklah terwujud kecuali antara sesama kaum mukminin, bukan
antara mukmin dan kafir.
Adapun orang-orang fasik yang berbuat kemakisatan,
keimanan mereka tidak hilang secara total Dalil-dalil syariat terkadang
menetapkan keimanan pada mereka, seperti firman Allah :
وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
“(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
(budak) yang beriman” (An Nisaa’:92). Budak beriman yang dimaksud
termasuk juga budak yang fasik.
Terkadang juga dalil-dalil syariat menafikan keimanan
pada mereka, seperti dalam hadist:
لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِينَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia
berzina”[13]
Madzab
ahlussunnah dalam menyikapi pelaku maksiat adalah tidak mengkafirkannya,
namun juga tidak memutlakkan keimanan pada diri mereka. Oleh akarena itu kita
katakan sebgaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:
“ Mereka (orang-orang fasik) adalah mukmin dengan keimanan yang kurang
(tidak sempurna), atau bisa juga dikatakan mukmin dengan keimanannya dan fasik
dengan dosa besarnya. Mereka tidak mendapat predikat iman secara mutlak, tidak
pula hilang keimanan (secara total) dengan dosa besarnya”[14] (Matan al
‘Aqidah al Washitiyah)
[Antara Iman dan Islam]
Apa
perbedaan antara iman dan islam? Kata iman dan islam terkadang disebutkan
bersamaan dalam satu kalimat, namun terkadang disebutkan salah satunya saja.
Jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup makna keduanya. Dan bila
disebutkan kedua-duanya, maka iman dan islam memiliki makna yang berbeda. Jika
disebutkan iman saja, maka tercakup di dalamnya makna iman dan islam. Demikian
pula sebaliknya. Namun, jika desebutkan iman dan islam, maka masing-masing
memilki makna sendiri-sendiri. Iman mencakup malan-amalan hati, sedangkan islam
mencakup amalan-amalan lahir.
Imam Ibnu Rajab al Hambali menjelaskan : “Jika
masing-masing islam dan iman disebutkan secara sendiri-sendiri (disebutkan iman
saja atau islam saja) maka tidak ada perbedaan di antara keduanya. Namun,
apabila disebutkan secra bersaamaan, di antara keduanya ada perbedaan. Iman
adalah keyakinan hati, pengakuan dan pengenalan. Sedangkan islam adalah
berserah diri kepada Allah, tunduk kepadan-Nya dengan melakukan amlan ketaatan
“[15]
[Kadar Minimal Rukun Iman]
Pokok-pokok keimanan terdapat dalam rukun iman yang
enam, sebagaimana diterangkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadist Jibril :
قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.”
[16]
Masing-masing rukun iman memiliki kadar minimal sehingga
dikatakan sah keimanan seseorang terhadap rukun tersebut. Secara umum, kadar
minimal untuk keenam rukun iman tersebut adalah sebagai beikut
Iman kepada Allah:
–
Beriman dengan wujud Allah
–
Beriman dengan rububiyah Allah
–
Beriman dengan uluhiyah Allah
–
Beriman dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah
Iman kepada para malaikat Allah:
–
Beriman dengan keberadaan para malaikat Allah
–
Mengimani secara rinci nama-nama malaikat yang kita ketahui, dan mengimani
secara
global yang tidak kita ketahui
–
Mengimani secara rinci sifat-sifat mereka yang kita ketahui, dan mengimani
secara
global yang tidak kita ketahui
–
Mengimani secara rinci tugas-tugas mereka yang kita ketahui, dan
mengimani secara global yang tidak kita ketahui
Iman kepada kitab-kitab Allah :
–
Mengimanai bahwa seluruh kitab berasal dari Allah
–
Mengimani secara rinci nama-nama kitab Allah yang kita ketahui dan mengimani
secara
global yang tidak kita ketahui
–
Membenarkan berita-berita yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut
–
Beramal dengan hukum-hukum yang ada di dalamnya selama belum dihapus
Iman kepada para rasul Allah :
–
Mengimani bahwa seluruh risalah para rasul berasal dari Allah
–
Mengimani secra rinci nama para nabi dan rasul Allah yang kita ketahui dan
mengimani secara global yang tidak kita ketahui
–
Membenarkan berita yang shahih yang datang dari mereka
–
Beramal dengan syariat Rasul yang diutus kepada kita (yaitu Muhammad shalallhu
‘alaihi wa sallam)
Iman kepada hari akhir :
–
Beriman dengan hari kebangkitan
–
Beriman dengan hari perhitungan dan pembalasan (al hisaab wal jazaa’)
–
Beriman dengan surga dan neraka
–
Beriman dengan segala sesuatu yang terjadi setelah kematian
Iman kepada takdir Allah :
–
Beriman bahwasanya Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi
–
Beriman bahwasanya Allah telah menetapkan segala sesuatu di Lauh mahfudz
–
Beriman bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah
–
Beriman bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan makhluk Allah[17]
Barang siapa yang tidak mengimani
pokok-pokok yang ada pada kadar minimal rukun iman, maka batal rukun iman
tersebut. Dan barangsiapa yang batal salah satu rukun iman, maka batal pula
seluruh keimanannya.
[Hukum Mengatakan “ Saya Mukmin InsyaAllah”]
Bolehkah
mengucapkan perkataan “Saya mukmin InsyaAllah?”. Perkataan ini diistilahkan
oleh para ulama dengan al istisnaa’ fil iman (pengecualian dalam
keimanan). Manusia terbagi menjadi tiga kelompok dalam masalah ini. Ada yang
mengharamkannya secara mutlak, ada yang membolehkannya secara mutlak, dan ada
yang merinci hukumnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah
pernah ditanya tentang hukum perkataan : Saya mukmin Insya Allah”.
Beliau menjelaskan : “ Perkataan seseorang ‘Saya mukmin Insya Allah’
diistilahkan oleh para ulama dengan al istisnaa’ fil iman (pengecualian
dalam keimanan). Masalah ini perlu perincian :
1. Jika istisna’
muncul karena ragu dengan adanya pokok keimanan maka ini merupakan keharaman
bahkan kekafiran.. Karena iman adalah sesuatu yang pasti (yakin) sedangkan
keraguan membatalkan keimanan.
2. Jika istisna’
muncul karena khawatir terjatuh dalam tazkiyatun nafsi (menyucikan
diri), namun tetap disertai penerapan iman secara perkataan, perbuatan, dan
keyakinan, maka hal ini sesuatu yang wajib karena adanya rasa khawatir
terhadap sesuatu yang berbahaya yang dapat merusak iman.
3. Jika maksud istisna’
adalah bertabaruk dengan menyebut masyiah (kehendak Allah) atau untuk
menjelaskan alasan, dan iman yang ada dalam hati tetap tergantung kehendak
Allah, maka hal ini diperbolehkan. Dan penjelasan untuk penyebutan alasan (bayaani
ta’lil) tidaklah meniadakan pembenaran iman. Telah terdapat penjelasan hal
ini seperti dalam firman Allah :
َتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَآءَ اللهُ ءَامِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لاَتَخَافُونَ …{27}
“… bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki
Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut
kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut…” (Al Fath :27).
Dan juga dalam do’a Nabi ketika ziarah kubur :
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ “ dan kami insya Allah akan menyusul kalian”[18]
Dengan penjelasan di atas, maka tidak boleh
memutlakkan hukum dalam masalah al istisna’ fil iman. Yang benar adalah
merinci masalah ini[19].
Demikian beberapa penjelasan mengenai permasalahan
iman. Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahiladzi bi ni’matihi tatimus shaalihaat
A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Islam, Iman, dan Ihsan
dalam Membentuk Insan Kamil ( Manusia Sempurna )
Menurut Ibnu Araby, ada dua tingkatan menusia dalam
mengimani Tuhan. Pertama, tingkat insan kamil. Mereka mengimani Tuhan dengan
cara penyaksian. Artinya, mereka “ menyaksikan” Tuhan; mereka menyembah Tuhan
yang disaksikannya. Kedua, manusia beragama pada umumnya. Mereka mengimami
Tuhan dengan cara mendefinisikan. Artinya, mereka tidak menyaksikan Tuhan.
Tetapi mereka mendefinisikan Tuhan. Mereka mendefinisikan Tuhan berdasarkan
sifat – sifat dan nama – nama Tuhan. ( Asma’ul Husna )
Abdulkarim
Al – Jilli membagi insan kamil atas tiga tingkatan.
a) Tingkat Pemula ( al – bidayah ). Pada tingkat ini
insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat – sifat ilahi pada
dirinya.
b) Tingkat menengah ( at – tawasuth ). Pada tingkat ini
insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan
realitas kasih Tuhan ( al – haqaiq ar – ramaniyyah ). Pengetahuan yang dimiliki
oleh insan kamil pada tingkat ini telah meningkat dari pengetahuan biasa,
karena sebagian dari hal – hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
c) Tingkat terakhir ( al – khitam ). Pada tinhgkat ini
insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Iapun telah
dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir
B. Menanyakan
Alasan Mengapa Iman, Islam, dan Ihsan Menjadi Persyaratan dalam Membentuk Insan Kamil
Apakah anda percaya akan adanya Allah ? Mereka semua
memberikan jawaban yang sama kami percaya akan adanya Allah, kami percaya akan
adanya malaikat – malaikatnya dan seterusnya. Kemudian jika ditanya lebih
lanjut adakah manusia yang tidak percaya akan adannya malaikat, dan adakah
manusia yang tidak percaya adanya tuhan, dan serterusnya. Hampir semua
mahasiswa menjawab tidak ada seorang manusiapun yang tidak percaya akan adanya
Tuhan, tidak ada seorang manusiapun yang tidak percaya akan adanya malaikat,
dan seterusnya. Semua manusia percaya adanya Tuhan, dan seterusnya.
C. Menggali
Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis Tentang Iman, Islam, dan Ihsan Sebagai
Pilar Agama Islam dalam Membentuk Insan Kamil.
- Menggali Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis Tentang Iman, Islam, dan Ihsan sebagai Pilar Agama Islam
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Umar Bin Khatab
r.a diatas kaum muslimin menetapkan adanya tiga unsur penting dalam agama islam
yakni, iman, islam, dam ihsan sebagai kesatuan yang utuh.
Akidah merupakan cabang ilmu agama untuk memahami
pilar islam dan akhlak merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar ihsan.
2. Menggali Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis
Konsep Insan Kamil
Istilah Insan Kamil (manusia sempurna) pertama kali
diperkenalkan oleh syekh Ibn Araby ( abad ke – 14 ). Ia menyebutkan ada dua
jenis manusia, yakni insan kamil dan monster setengah manusia. Jadi, kata Ibn
Araby, jika tidak menjadi insan kamil, maka manusia menjadi monster setengah
manusia. Insan kamil adalah manusia yang telah menanggalkan kemonsteranya.
Konsekuensinya, diluar kedua jenis manusia ini da manusia yang sedang berproses
menanggalkan kemonsterannya dalam membentuk insan kamil.
a. Konsep Manusia dalam Al-Quran.
secara umum, pembicaraan tentang konsep manusia selalu
berkisar dalam dua dimensi, yakni dimensi jasmani dan rohani, atau dimensi
lahir dan batin.
b. Unsur –unsur Manusia Pembentuk Insan Kamil
secara ringkas, Al – Ghazali ( dalam othman, 1987:
31-33) menyebut beberapa instrumen untuk mencari pengetahuan yang benar serta
kapasitas untuk mencapainya. Pertama, panca indra. Panca indra memiliki
keterbatasan dan tidak bisa mencapai pengetahuan yanng benar, setelah dinilai
oleh akal. Kedua, akal. Dengan metode ini, dengan cara yang sama, seharusnya
orangpun menuilai tingkat kebenaran akal. Orang seharusnya menggunakan cara
yang sama dengan cara yang digunakan oleh akal ketika menulai kekeliruan panca
indra.
Ketiga, nur ilahi. Ketika Al- Ghazali sembuh dari
sakitnya ia menuturkan, kesembuhannya dari sakit karena adanya nur ilahi yang
menembus dirinya. Kemudian Al- Ghazali mengungkapkan pandangannya tentang nur
ilahi sebagai berikut. Kapan saja Allah menghendaki untuk memimpin seseorang,
maka jadilah demikian. Dialah yang melapangkan dada orang itu untuk berislam. (
QS: Al- An am/ 6:125. )
D. MEMBANGUN ARGUMEN TENTANG KARAKTERISTIK INSAN KAMIL
DAN METODE PENCAPAIANNYA
1. Karakteristik insan kamil
Insan kamil bukanlah manusia pada umumnya. Menurut
ibnu araby meyebutkan adanya dua jenis manusia yaitu insan kamil dan monster
bertubuh manusia. Maksudnya jika tidak menjadi insan kamil, maka manusia akan
menjadi monster bertubuh manusia. Untuk itu kita perlu mengenali tempat unsur
untuk mencapai derajat insan kamil, diantaranya :
1. Jasad
2. Hati nurani
3. Roh
4. Sirr (rasa)
Untuk mencapai derajat insan kamil kita harus dapat
menundukkan nafsu dan syahwat hingga mencapai tangga nafsu muthama’inah.
Hal
ini dapat dilihat pada QS Al Fajr/89;27-30
Yang
artinya hai jiwa yang tenang kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhoinya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hambaku, masuklah kedalam
surgaku.
Ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa nafsu
muthma’inah merupakan titik berangkat untuk kembali kepada tuhan. Akan tetapi,
dengan modal nafsu muthama’inah pun masih di perintah lagi oleh allah untuk
menaiki tangga nafsu diatasnya. Menurut imam ghazali ada 7 macam nafsu sebagai
proses taraqqi (menaik) yaitu :
1. Nafsu ammarah
2. Nafsu lawwamah
3. Nafsu mulhimah
4. Nafsu muthma’inah
5. Nafsu radhiyah
6. Nafsu mardiyyah
7. Nafsu kamilah
2. Metode Mencapai Insan
Kamil
cara
konkret :
1. Memulai sholat jika tuhan yang akan disembah itu sudah
dapat dihadirkan dalam hati, sehingga ia menyembah tuhan yang benar-benar
tuhan.
2. Berniat sholat karna allah.
3. Selalu menjalankan sholat dan keadaan hatinya hanya
mengingat allah.
4. Shollat yang telah didirikannya itu dapat mencegah
perbuatan keji dan mungkar
E. MENDESKRIPSIKAN TENTANG ESENSI DAN URGENSI IMAN,
ISLAM, DAN IHSAN DALAM MEMBENTUK INSAN KAMIL
Insan
kamil merupakan tipe manusia ideal yang
dikehendaki oleh tuhan. Hal ini disebabkan, jika tidak menjadi insan kamil maka
manusia itu hanyalah monster bertubuh manusia.
Siapa dan bagaimana insan kamil itu ?
Dalam
perspektif islam manusia memiliki 4 unsur yaitu : jasad, hati, roh dan rasa.
Yang berfungsi untuk menjalankan kehendak ilahi. Untuk mengkokohkan keimanan
akan menjadi manusia yang insan kamil maka kaimanan kita harus mencapai tingkat
yakin. Maka kita harus mengidentifikasi yang mengacu pada rukun iman. Sedangkan
untuk dapat beribadah secara bersungguh-sungguh dan ikhlas, maka segala ibadah
yang kita lakukan mengacu pada rukun islam.
Kaum sufi memberikan tips untuk dapat menaiki tangga
demi tangga, maka seseorang yang berkehendak mencapai martabat insan kamil
diharuskan melakukan riyadhah (berlatih terus-menerus) untuk menapaki maqam
demi maqam yang biasa ditempuh oleh bangsa sufi dalam perjalanannya menuju
tuhan. Maqam-maqam yang dimaksud merupakan karakter-karakter inti yang memiliki
6 unsur :
- Taubat.
- Wara’.
- Zuhud.
- Faqir.
- Sabar
- Tawakkal.F. RANGKUMAN TENTANG BAGAIMANA MENJADI INSAN KAMILUntuk menapaki jalan insan kamil terlebih dahulu kita perlu mengingat kembali tentang 4 unsur manusia yaitu jasad atau raga, hati, roh dan rasa. Keempat unsur manusia ini harus di fungsikan untuk menjalankan kehendak allah. Hati nurani harus dijadikan rajanya dengan cara selalu mengingat tuhan.Jika sudah secara benar menjalankan 4 unsur tersebut, lalu mengkokohkan keimanan, meningkatkan peribadatan, dan membaguskan perbuatan, sekaligus menghilangkan karakter-karakter yang buruk.Sekian Makalah ini saya buat apa bila ada kekurangan dan kesalahan mohon maaf yang sebesar-besarnya,karena Manusia tidak luput akan kekurangan, salah itu datangnya dari Setan dan kebenaran itu hanyalah dari Alloh SWT.وَبَرَكَاتُهُ اللهِ وَرَحْمَةُ عَلَيْكُمْ اَلسَّلاَﻮ
No comments:
Post a Comment